Kamis, 21 Juli 2011

"Brut" Seni Primitif Ala Men Tanjung


Sebuah tumpukan batu kali ditata dengan bentuk yang tidak lazim menyerupai altar pemujaan suku Indian berhiaskan kapur yang dibuat Men Tanjung, oleh masyarakat Budakeling, Kabupaten Karangasem, Bali disebut sebagai seni primitif "brut".

Men Tanjung adalah seorang wanita yang sudah renta, penduduk Banjar Saren Anyar, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Wanita yang sering dicap sebagai `orang aneh? itu memiliki kebiasaan nyeleneh, di mana sejak muda ia suka mengumpulkan batu-batu kali di sekitar tempat tinggalnya, ujar beberapa tetangga Men Tanjung, Senin.

Menurut salah seorang kerabat Men Tanjung, I Wayan Penpen, untuk mencari batu-batu di sungai, dilakukan sendiri setiap hari tanpa bantuan siapapun.

"Kegiatan itu bisa jadi merupakan hobi atau keisengan belaka. Bisa juga merupakan pelarian Men Tanjung yang sedikit mengalami gangguan jiwa sejak dia tertimpa peristiwa tragis beberapa dekade silam," ujar Penpen, dengan sotot mata menerawang.

Konon, pada masa G-30-S PKI tahun 1965, anak perempuan Men Tanjung meninggal dunia dengan cara dramatis, yakni dicap PKI dan dibunuh. Kejadian itu menyisakan kenangan pahit yang terus terekam di benak Men Tanjung hingga membuatnya sering melamun dengan tatapan mata kosong.

Lama-kelamaan, kata dia, Men Tanjung menjadi sering ngelantur ketika bicara, sehingga sulit berkomunikasi secara normal, baik dengan keluarga maupun lingkungannya. Alhasil, Men Tanjung pun dibilang sebagai orang yang kurang waras.

Dalam alam ketidakwarasan tersebut, Men Tanjung mulai berkreasi dengan membuat dunia tersendiri sesuai dengan gagasan imajiner yang dimilikinya. Tepatnya, sejak sepuluh tahun silam, Men Tanjung tiba-tiba tertarik pada batu-batu yang banyak dijumpai di sungai dekat rumahnya.

Hampir setiap hari, Men Tanjung mengusung batu-batu dengan berbagai ukuran diletakkan dekat tikungan jalan, beberapa meter dari rumahnya.

Batu-batu itu kemudian disusun dan diletakkan sedemikian rupa. Digabungkan dengan ornamen lain, seperti ranting pohon, buah kelapa yang sudah dikerat menyerupai monyet, botol minuman, hingga buah-buahan kering.

Keindahan yang diciptakan Men Tanjung merupakan keindahan alami. Apa adanya. Semua yang tercipta memang berdasar daya khayalnya yang termanifestasi dengan bentuk-bentuk, yang bagi orang lain mungkin dinilai aneh dan tidak normal.

Tapi begitulah Men Tanjung. Seorang perempuan desa yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan, namun mampu menciptakan kreasi dengan kecerdasan dan bakat alam yang dimilikinya, Dr Jean Cauteau, budayawan kelahiran Prancis yang telah lama menetap di Bali.

Seni buatan Men Tanjung, kata dia, menjadi menarik untuk dicermati, karena tidak pernah terpengaruh oleh jenis kesenian dari manapun, baik dari dunia timur maupun barat.

Men Tanjung tidak pernah melangkahkan kaki lebih jauh dari sepenggal wilayah desanya, Budakeling. Ia juga tidak pernah menikmati tontonan dari televisi.

Seni Tanjung Seni ala Men Tanjung, kata Jean Cauteau, benar-benar murni muncul dari alam bawah sadarnya yang berasal dari penghayatan pada kehidupan beragama perempuan sebagai pemeluk Hindu.

Meski berbungkus kealamiahan dan kesederhanaan, ternyata karya Men Tanjung menarik minat banyak orang, baik lokal maupun mancanegara.

Penpen mengungkapkan, setahun silam, ada orang dari Yogyakarta yang membeli batu-batu Men Tanjung seharga 30 juta dan kemudian diboyong ke daerah asalnya, dengan alasan untuk dipakai koleksi museum.

Selain itu, ada juga satu dua orang yang kebetulan lewat Desa Budakeling berminat membeli satu buah batu, kemudian memberi imbalan sebesar Rp50-Rp70 ribu.

"Kami tidak pernah memberi harga pada batu yang dikumpulkan Men Tanjung. Terserah saja orang kasih berapa, kami terima, karena memang apa yang dilakukan Men Tanjung itu hanya kegiatan iseng saja. Bahkan yang dibuat bukan hanya batu-batu, tapi juga sering menggunting-gunting kertas dan dijadikan penghias dinding rumah," ujar Penpen ramah.

Meski disebut kegiatan iseng, namun Penpen tidak menampik kalau Men Tanjung angat perhatian dengan batu-batu kreasinya itu. Setiap ada "odalan" atau upacara ritual, ia tidak pernah lupa untuk ?mebanten? serta menyalakan dupa di antara batu-batu itu.

Entah apa yang ada di pikiran Men Tanjung. Bisa saja Men Tanjung itu beranggapan kalau batu-batu itu disusun untuk menjadi tempat persembahyangan atau pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar