Kematian vocalis the Doors, pada tanggal 3 Juli 1971 di Paris tetap jadi kontroversi hingga sekarang. Bunuh diri, over dosis, dibunuh oleh CIA atau sebab-sebab lain. Saya memperoleh buku tentang The Doors, berjudul LIGHT MY FIRE, MY LIFE WITH THE DOORS yang ditulis oleh RAY MANZAREK,pemain keyboard, sekaligus arsitek musik The Doors. Pada bab pertama, dari buku yang terdiri dari 20 bab ini adalah membahas kematian Jim Morrison. Kematian Jim Morrison di mata Ray Manzarek. Pertemuan terakhir dengan Jim Morrisson, Album apa yang sedang mereka garap, paranoia apa yang melanda selebritis muda di awal tahun 70 an, dan hal-hal lain. Bab tentang kematian Jim Morrison, saya bagi empat bagian, dan bagian pertama adalah yang di bawah ini, sedangkan bagian dua, sampai empat, ada di halaman lain blog ini. Selamat menikmati.
Kami tidak tahu apa yang menjadi penyebab kematian Jim Morrison di Paris. Sejujurnya kami memang tidak akan pernah tahu. Rumor, kebohongan, rekayasa menyelimuti kebenaran. Terlalu banyak teori yang bertentangan. Ia pergi ke bioskop (seperti kata Oswald). Tidak ia tidak pergi ke bioskop, ia pergi ke bar yang bernama Rock ‘n’ roll Circus, bar dengan selera rendahan, tidak seperti Van Gouh Cafe . …”bar dimana orang bisa menjadi gila atau berbuat kriminal.”
We could plan a murder, or start a religion
Ia tidak pergi ke Rock ‘n’ roll Circus, ia di rumah bersama Pam. Tidak ia dibawa pergi oleh tiga orang pria Perancis petang itu. Comatose. Ia mengkonsumsi heroin ( sepengatahuan saya Jim tidak pernah mengkonsumsi heroin, yang pasti tidak ketika ia berada di Amerika. Namun Pam memang pemakai. Lalu pada umumnya orang yang tadinya sekedar mencoba-coba biasanya menjadi ketagihan….betulkah ?). Tidak. Ia mabuk. Mereka membaringkannya ditempat tidur. Tidak, ia sama sekali tidak keluar rumah. Ia sakit. Sehari sebelumnya Ia memeriksakan dirinya ke dokter. Flu berat. Pam sedang memasak untuk makan malam mereka berdua. Tidak. Mereka berdua makan malam di luar dan clubbing sepanjang malam. Tidak . Ia tidur lebih awal, terbangun di tengah malam, merasa kurang enak badan, merasa perlu mandi dengan air hangat, untuk menyegarkan diri….setiap orang nampaknya sepakat tentang manfaat air. The Liquid, the water of of Unconcious. The Womb. An Immersion. A Baptism. A Cleansing. The Sublime rest in the waters of Mother. Pam bahkan tidak ada di sana. Ia keluar untuk menemui pangerannya. Orang yang akan ditemui ini selalu menganggap dirinya pangeran. Seorang bangsawan. Pam sangat menyukai hal tersebut. Berbincang dengan orang yang lebih tinggi derajatnya. Nama orang tersebut tak mungkin diucapkan. Kami tidak bisa berbahasa Perancis. Kami orang Amerika. Kami faham mengenai seni, mengenai musik, mengenai film, namun kami idak faham bahasa Perancis. Siapa nama pangeran itu, sampai hari ini saya tidak tahu. Yang saya tahu, ia adalah rival Jim Morrison dalam merebut hati Pam. Namun sang Pangeran akhirnya juga mati. Akibat mengkonsumsi heroin.
Tidak Pam ada di kamar bersama Jim, ia tidak akan meninggalkan Jim jika Jim merasa tidak enak badan. Tidak, Jim ada di kamar mandi. Ia meneriakan kata-kata terakhir dari kamar mandi. Pam bisa mendengar karena pintu kamar mandi dibiarkan terbuka ( Saya bertemu Pam setahun kemudian di Restauran yang terletak di pinggir laut di Mario, di sebrang jembatan San Fransisco. Ia betul-betul terpukul. Hancur. Saya hanya bisa merangkulnya, dan berusaha membuat dirinya nyaman. Rasanya tidak mungkin menanyakan sesuatu yang sebetulnya perlu ditanyakan padanya, “Apa yang terjadi pada dia ?” Ia sedang menangis. Ia hanya bisa mengatakan betapa besar cintanya pada Jim. Betapa dirinya merasa kehilangan, betapa sepinya dunia tanpa Jim. Namun kemudian dia berkata, “Tahukah kamu apa kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya ?” Saya bicara dalam hati, “More Light,” atau mungkin “Eureka” atau yang paling baik dari semuanya adalah …...”One”
Saya berkata,”Tidak, Pam. Apa yang ia katakan ?”
Ia menatap saya, air mata berlinang di pipinya, jatuh, hancur…….”Pam kamu masih di situ?” ucapnya. Lalu ia mengulang lagi. Lembut, dengan suara kekanak-kanakannya seolah bicara pada dirinya sendiri “Pam kamu masih di situ?”
“Indah sekali,” kata saya, berusaha memberi kenyamanan pada gadis yang sedang merasa kehilangan ini. “Kata-kata terakhirnya adalah tentang kamu.” Dan tangisnyapun pecah lagi )
Dan yang jelas ia tertidur. Mungkin merasa nyaman dan bahagia. Ia merasa kekasihnya ada bersama dirinya. Ia berada di Paris. Ia muda dan cantik. Kekasihnya adalah seorang artis terkenal dan berniat menulis lagu. Dan ia akan jadi kesayangan kekasihnya. Namun ia terjaga, satu dua jam kemudian. Jim tidak ada bersamanya. Dalam ketakutan ia berlari ke kamar mandi.
Now run to the miror in the bathroom. Look
Dan hal yang paling ia takuti jadi kenyataan. Kekasihnya meninggal. Dan pikirannya mulai melayang. Berat. Emosinya menjadi tidak terkendali. Kata-kata bermunculan dalam dirinya. “Sendiri! Tak Pernah lagi ! Kosong ! Peluk Aku !Kesalahanku ! Ia tidak akan pernah memeluk saya lagi ! Kesalahanku ! Bingung ! Takut! Oh Tuhan mengapa mengapa ?Jim!
Dalam kepanikannya ia memanggil pangerannya (siapa lagi yang bisa diminta bantuannya ?) Dan Ia datang ke Apartemen yang ditempati oleh Pamela dan Jim di Marais. Tapi…. ini agak aneh. Ia datang ke Apartemen bersama Marriane Faithfull ( saingan Pam ?). Tidak ia tidak datang bersama Marianne. Marraine mengabarkan, ia tidak datang ke Marais. Lalu siapa yang ada di sana? Apakah sang pangeran ada di sana. Tidak. Pam tidak pernah menelpon sang pangeran. Ia menghubungi Alan Romay, teman semasa di UCLA, dan Agnes Verda, teman, yang berprofesi sebagai pembuat film. Merekalah yang mengurus segalanya. Menelpon Polisi. Polisi datang jam 9 pagi.Tidak Polisi datang jam 5 pagi. Siapa tahu ?
Belakangan ada kabar bahwa Jim meninggal dengan menyungging senyum diwajahnya. Saya suka hal ini. Apapun yang terjadi padanya, yang penting ia pergi dengan bahagia.
Death Old Friend
Bukankah ada yang berkata bahwa kematian itu menyenangkan ? ya roh Jim layak keluar dengan nyaman, karena semua tekanan, kesakitan, percobaan, kegelapan malam demi malam yang harus dilalui oleh jiwa yang masih muda, he deserved to leap upward, into the loam, with a satyr’s leer covering his now smooth and substantial Jowls.
Tidak. Ia sama sekali tidak mati. Ia sedang memerankan kematiannya. Bukan kah Agnes Verda sedang melakukan penelitian mengenai kisah seorang Perancis, yang berprofesi sebagai akuntan, yang sedang memerankan kematiannya dan menghilang di Marquesas pada tahun 20 an? Dengan sebongkah benda yang beratnya sekitar 75 kg, di peti mati dansebuah sertifikat kematian—ditambah seorang dokter berkebangsaan Al Zajair, yang dibayar US $ 5000, suatu jumlah yang fantastis di tahun 1971. Keterlibatan satu atau dua orang teman Perancis. Mungkin mereka pembuat film, untuk membuat pengaturan-pengaturan yang diperlukan. Well, semua mungkin terjadi di Paris !
Lalu bagaimana ceritanya ? Akankah kita bisa mengetahui hal yang sebenarnya ? Apkah kita memang ingin tahu apa yang sebetulnya terjadi ? Apakah kita memang butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi ? Dan Mengapa ? Maksud saya apa bedanya sebab-sebab kematiannya, sejauh matinya bukan karena pembunuhan ? Masalahnya bukanlah pada cara bagaimana seorang artis meninggalkan dunia ini. Masalahnya adalah SENI.Senilah satu-satunya masalah. Inilah yang kami kerjakan. Jim adalah seorang artis. Ia ingin anda mendengarkan kata-katanya. Ia ingin membawa kata-katanya ke dalam diri anda.Di tempat-tempat yang dalam. Tempat-tempat rahasia.Bagian-bagian yang paling dalam dimana jiwa kekanak-kanakan tinggal. Yang luar biasa. Yang menakutkan Yang lunak. Yang manis, delicate dan lembut. Kira berada dalam sebuah kapal yang sama. Kita semua punya make up internal yang sama. Dan kita semua ketakutan.
Namun seni adalah juru selamat kami. Kami menjadi kreator.Kami adalah penemu. Dan semua kenikmatan, dan pelarian dan locatan besar keluar dari diri kami—keluar dari lingkaran tertutup yang selalu terjadi—keluar dari tempurung dan kekangan ego kami, keluar menuju “wilayah yang lebih bersih dan lebih murni,” Seperti yang pernah dikatakan oleh Jim,Itulah tujuan yang pas bagi kami. Untuk menjadi kreator-kreator pencerahan. Mengetahui ke-esa-an dari segala hal.Yang suci dan yang abadi ( “Tat tvam asi,” “You Are That,”seperti orang India katakan ). ……… Membuat pilihan untuk berkreasi. Membuat pilihan untuk keluar. Kami semua adalah kreator. Dan keberadaan ini adalah kreasi kami. Milik kami dan kita bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi !
Itulah seni ! Bagi saya, itulah esensi membuat musik. Memetik nada-nada dari alam. Dan bagi Jim adalah memetik kata-kata dari alam. Kemudian menempatkan kata-kata tersebut dalam pendekatan yang imaginatif. Gambaran-gambaran. Dalam dan menembus. Pengakuan. Kadang biasa, sering sangat dalam. Tak pernah tanpa arti. Dan biasanya mempunyai banyak makna. Saya suka mendengar kata-katanya. Betapa dalam dan bermakna.
O great creator of being, grant us one more hour
to perform our art and perfect ourlives
Saya ingin kata-kata di atas tertulis di batu nisannya
Coda Queen be my bride
Rage In darknes by myside
Seize the summer in your pride
Let’s ride !
Kata-kata di atas untuk Pam
Wild Child, natural child
Not your mother’s or your father’s child;
You’re our child, screaming wild
Kata-kata di atas untuk Danny
Well, she is fashionably lean,
And She’s fashionably late,
She’ll never rank a scene,
She’ll never break a date,
But she’s no drag,
Just watch the way she walks
She’s twentieth-century fox
Kata kata di atas untuk Dorothy
Persian Night, babe
See the Light, babe
Jesus !
Save Us !
Yang ini untuk Jim
I love the friends I have gathered together in this this
Raft. We have constructed pyramids ini honor of our escaping.
Itu adalah untuk John dan Robby
Lost in a Roman wilderness of pain
And all of the childrens are insane,
Waiting for the summer rain
Itu adalah untuk kami semua
Kata-katanya. Selalu bernuansa magis. A refuge from the howling madness of the night. Saya tahu kami adalah manusia, kuat, bagus dan suci ketika membaca kata-katanya. Kami tahu kami bisa menghadapi semua teror itu. Kata-katanya membuktikan potensinya untuk berkreasi. Atas kehendak seni berkreasi. Dari kemampuan kami untuk meloncat ke atas, keluar dari limpur, menuju pusat energi yang besar berwarna keemasan yang hangat dan melindungi kita. Matahari. Lingkaran yang melebur. Itulah manifestasi tindakan kreasi murni kami, when we willed existence into exiztence. Energi. Suci dan manusiawi. Milik kami. Semua milik kita. Dan kata-kata Jim. Untuk kita. Semua untuk kita.
In that year we had an intense visilation of energy
Masa itu berlangsung antara musim panas 1965 sampai dengan tanggal 3 July, 1971
Keterangan foto : The Doors saat-saat penggarapan album L.A. Woman pada tahun 1971. Jim Morrison paling kanan, memelihara jambang. Foto ini diambil dari www.soundonsound.com
KE PARIS, MENJEMPUT KEMATIAN
Terakhir saya bertemu Jim Morrison adalah pada musim gugur 1971 di studio rekaman-yang terletak di 8512 Santa Monica Boulevard, pojokan La Canega dan Santa Monica. Tempat ini tadinya merupakan kantor sekaligus tempat workshop untuk The Doors, tapi telah kami ubah menjadi studio rekaman untuk penggarapan album L A Woman. Kami sudah mengenal akustik ruang ini . Kami merasa nyaman berada di ruang ini. Ruang ini telah biasa digunakan sebagai tempat bercengkrama, minum-minum, berfilsafat dan mengisap ganja. Dan saat ini kami akan menjadi produser untuk rekaman kami.
Paul Rotchild telah mengundurkan diri dari proyek ini. Ia mempunyai cara yang unik untuk membuat kami termotivasi. Ia adalah seorang spekulan sejati. “Saya jenuh,” katanya. “Jika hal ini adalah hal terbaik yang bisa kalian lakukan. Saya akan pergi. Saya yakin kalian bisa mengerjakan hal ini.” Ia kemudian melangkah ke luar di saat kami sedang melakukan latihan. Yeah ! Mengerjakan sendiri ? Well… mengapa tidak ?! Kami bisa menggerjakan ini. Kami memiliki kemampuan. Bruce Botnick sebagai co produser. Tentu saja seperti halnya kami Brucepun masih nol pengalaman. Tapi ia sudah kenal baik sound kami. Ia paham apa yang kami maui. Ia telah menjadi sound engineer the Door sejak album the Door yang pertama. Ia punya peran besar dalam mewujudkan sound the Door dan sekarang menjadi co produser.
Kami membuat suatu lompatan besar – John, Robby, Jim, Ray dan Bruce Bitnick. Kami akan berdiri di atas kami sendiri. A crytically and aesthatecally sucessfull undertaking. Energinya berpihak pada kami.
Bruce mendorong perangkat rekaman delapan track menyebrangi La Nega Boulevard dari perusahaan rekaman Elektra yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor The Doors. Selain itu ada juga kabel-kabel, mike, baffles, beberapa amplifier…..dan sebuah amplifier tabung yang besar, sudah berumur dari Sunset Studio, tempat dimana kami mengerjakan dua album awal The Doors, The Doors dan Strange Day. Pada masa itu sudah tidak ada orang yang mau menggunakan ampli tabung besar seperti itu untuk rekaman. Sudah dianggap kuno. Tapi bagi kami ampli tersebut sangat berguna, karena soundnya yang warm, full dan rich. Tampilannya memang mengingatkan kita pada ampli pada era bigbandnya Gene Krupa. Dengan alat pemutar volume sebesar jengkol, tidak ada alat pengatur volume dengan sistim geser. Kita bisa menggegam alat putar volume itu dengan tangan. Rasanya mantap. Seperinya kita menjadi kesinambungan seniman-seniman musik periode lalu, mengembangkan seni rekaman tapi tetap mempertahankan cita rasa tradisi. Dan semuanya hanya terdiri dari dua warna silver dan hitam dihiasi dengan indikator yang menuju bagian merah, memandu kami mendapatkan sound yang optimal. Dan ampli ini tidak pernah membuat kami kecewa.
Kami menempatkan semua instrumen musik di lantai bawah, menempatkan perangkat mixer sedikit tersembunyi, menempatkan mike-mike di depan ampli, menempatkan mike Jim Morrison di tempat agak terpisah—the downstairs bathroom—menempatkan perangkat rekaman delapan track di lantai atas, ruang kantor kami, dengan perangkat kabel yang dijulurkan dari lantai bawah melalui anak tangga untuk kemudian dihubungkan dengan perangkat rekaman di atas. Wuaa…studio rekaman sudah ada di kantor kami.
Are you a lucky little lady in the City Of Light.
Or Jus Another Angel
City Of Night
City Of Night
City Of Night
City Of Night!
Dan kami menggoyang ruang kecil ini dengan musik kami. Memproses lagu-lagu kami. Did a Jacob on the Angel of creativity, and caught the muse. Semuanya berjalan lancar dan bentuk akhirnya terlihat makin nyata. Jim telah menyelesaikan hampir semua tugasnya pada bagian vokal. Yang belum adalah membisikan vokalnya pada lagu Riders On The Storm—usai bait terakhir.
Riders On The Storm
Riders On The Storm
Into The House We’re Born
Into This World We’re Thrown
Like A Dog Without Bone
An Actor Out on loan
Riders On The Storm
Kemudian Jim menyelesaikan tugasnya, bisikan vokalnya yang getir di belakang bait tersebut.
Riders On The Storm
Riders On The Storm
Dan terasa menyeramkan. Seharusnya saya sadar bahwa ini adalah suatu pertanda. Kami telah menyelesaikan rekaman kami dan ia datang ke ruang kendali rekaman di latai atas. Semua berpendapat vocal Jim luar biasa. Jim juga merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan.
“Saya suka effek dalam lagu tersebut,” kata Jim. “Ide yang bagus, Ray.”
Tiba-tiba Robby berkata :”Kalian tahu, lagu tersebut seperti membawa saya ke tengah padang pasir, saya melihat petir yang besar…di kejauhan. Bagaimana kalau kita tambahkan efek suara petir dan bunyi hujan ?! Yang bisa membawa pendengar ke tempat yang saya rasakan tadi.”
Botnick berkata : “Saya memiliki banyak koleksi sound efect. Kita lihat apa yang bisa kita temukan,”
Jim hanya berdiri sambil menggumamkan melody lagu tersebut untuk dirinya…dan tersenyum. The Doors dalam kebersamaan, di studio, membuat musik. Semua terasa oke. Semua terasa lancar. Kami tahu itu dan kami sama-sama tersenyum pada diri kami sendiri. Seperti halnya Jim yang juga tersenyum pada dirinya.
Dan tiba-tiba Jim melempar bom !
“Saya akan pergi ke Paris,” katanya.
Hening. Roda jiwa mulai berputar. Keraguan, firasat, kengerian menyelimuti ruang di mana kami berada. A dark green thing attached itself to the base of my spine. Bruce dan Robby untuk sesaat berdiri terpaku. John terbatuk batuk gelisah, tak tahan dengan suasana yang mencekam.
“Kita sudah betul-betul hampir menyelesaikan pekerjaan kita,” Jim melanjutkan kata-katanya. “Proses mixing sebagian besar telah kita selesaikan. Semua hasilnya kelihatan memuaskan. Mengapa tidak diselesaikan saja sisanya oleh kalian semua. Saya akan berangkat ke Paris dalam dua hari ini. Pam sudah berada di sana. Ia punya apartemen dan semua sudah dipersiapkan. Saya akan tinggal bersamanya di sana.”
Dan itulah. Suatu pernyataan sederhana dan polos telah diungkapkan. Akhir kebersamaan kami sedang diputuskan. Tapi saat itu kami belum tahu. Tak seorangpun yang tahu. Tidak pada saat itu. Tidak ditengah-tengah kami sedang melakukan proses kreatif. Di tengah-tengah rasa persaudaraan. Di tengah-tengah kesenian. Yang saya tahu saya merasa tidak enak. Perasaan tidak enak itu menjalar keperut saya. Ini tidak beres.
Something’s wrong, something’s not quite right
Jim biasanya selalu terlibat dalam proses mixing akhir. Itulah saat dimana segala kreatifitas dan kerja keras kami menemukan bentuk akhinya. Saat kita menyempurnakan segala sesuatunya. Seberapa besar volumenya, seting Eqnya, penempatan instrumen dalam sound yang kita inginkan, the sugnal processing device, editing, semua harus oke untuk kemudian kita padukan dalam pita dua track. Menghasilkan rekaman akhir. Rekaman yang kemudian akan didengar orang dirumah. Bayi kami.
Ini adalah kelahiran bayi kami. Setelah pergulatan berbulan-bulan. Dari mulai menemukan inspirasi awal, saat menggodoknya dalam latihan, to seducing the muse of each piece, menanamkan esensi, sampai akhir siap dipindahkan kepita rekaman, malam demi malam pengerjaan proses rekaman, tryng to get the muse to come back and make love to us one more time while the tape machine was running (oh, she is fickle and demanding of surrender and can never be fooled or tricked into appearing), merekam vocal, sampi ke overdub piano dan permainan slide guitar.
Dan Jim akan pergi ke Perancis sebelum ia mendengar hasil akhir, album yang telah selesai—sebelum ia mengetahui bagaimana bentuk akhir dari suatu proses yang telah kita kerjakan bersama-sama, bermingu-minggu, berbulan-bulan, jadinya seperti apa ?
Seharusnya saya tahu.
Ada yang tidak beres. Saya tidak tahu apa, namun ada yang tidak beres. Tapi saya mencoba tegar. Mungkin karena, dalam hati saya yang terdalam, saya berpikir perjalanan yang akan dilakukan Jim adalah suatu ide baik.
“Paris, huh ?” kata saya. “Menarik sekali. Itu suatu tempat yang bagus untuk refreshing beberapa waktu.”
“Ya, saya pikir juga begitu.”
“Berapa lama, uhh….berama lama rencananya kamu akan berada di sana?”
“ Aku tidak tahu Ray,” kata Jim berkata, sementara matanya seperti menerawang jauh. Jauh sekali. Tidak berada di sana, tapi melihat semuanya. Terutama tragedi, rentannya kehidupan.
All My Life’s Torn Curtain
All My mind come trumbling down
“Saya tak punya rencana sama sekali,” kata Jim lagi, “Saya hanya butuh istirahat. Beberapa waktu untuk diri saya. Beberapa bulan, enam bulan. Mungkin satu tahun. Siapa tahu ? Saya sendiri belum tahu.
“Hal ini bisa memberimu kesempatan untuk menggarap catatan-catatan yang dibuat di Miami.,” Saya memberi dorongan. “Saya ingin membaca kalau sudah jadi buku.” Buku itu tadinya akan berjudul Observation On America, While On Trial for Obscenity.
Ia tersenyum. “Saya akan memarahi mereka. Kali ini adalah giliran saya.”
“A new de Tocqueville,” kata saya. “Kita butuh satu untuk abad 20 ini.”
Ia hanya tersenyum that sheepish little-boygrin of his dan menjulurkan tangannya kepada saya. “Ah Ray.” Katanya.
“Hey, kamu pasti bisa. Siapa lagi kalau bukan kamu ?
Kepergian Jim Morrison ke Paris menimbulkan perasaan aneh. Setelah kami meluncurkan album L.A. WOMAN album kami yang keenam dalam rentang waktu empat tahun, dan ditambah album Absolutely Live maka jumlah album yang kami hasilkan menjadi tujuh. Tujuh, adalah jumlah anak tangga untuk mencapai surga. Tujuh juga merupakan jumlah cakra—pusat energi yoga mulai dari daerah\ tulang ekor sampai ke ubun-ubun. Tujuh juga merupakan jumlah album yang harus kami buat untuk Elektra Record, sesuai dengan kontrak yang telah kami sepakati. Setelah album L.A. Woman diluncurkan, kami tak mempunyai ikatan apa-apa lagi dengan Elektra. Kami bebas dan bersih. Kami dapat mengundurkan diri, membuat kontrak dengan Atlantic Record ( Ahmet Artegun berusaha mengajak kami) Atau tidak melakukan kontrak dengan siapapun, membubarkan the Doors, tinggal bersama, membuat film, menulis buku, melukis, menari atau apa saja yang kami mau. Bahkan tidak melakukan apa-apa. Mengambil cuti panjang, berpikir tentang manusia, tentang Tuhan dan mengenaieksistensi.
Sejujurnya saya mengharap Jim menggunakan waktu liburannya untuk menjauhkan diri dari teman-temannya yang hobi minum-minum, juga dari teman-temannya yang tukang kluyuran yang selalu mendekati Jim dan selalu membawa Jim ke tempat-tempat minum. Juga dari para penjilat, dari para parasit sebagaimana saya, Robby dan John memberi istilah pada mereka: dari “teman-temannya,” suatu istilah yang akan populer beberapa tahun kemudian. Dan malam-malam tersebut selalu menjadi tanggungan Jim. Jim selalu mentraktir. Selalu memanjakan orang-orang disekitarnya, sementara orang-orang tersebut hanya merongrong, membuat Jim tak mampu berkarya sebagai seorang penyair.
Bersama mereka waktu dan energi Jim habis di Bar. Minum-minum yang berlebihan membuatnya lupa diri. Apalagi teman-temannya itu akan selalu tertawa berlebihan ketika Jim bercanda. Jim makin lupa diri. Elvis punya teman-teman seperti ini. Mereka biasa disebut mafia Memphis. Jim juga punya. Kami menyebutnya mafia Santa Monica.
Di tengah orang-orang seperti ini, Jim tak akan bisa melahirkan suatu karya. Tidak mampu berkreasi. Mustinya ia bisa menghasilkan bait-bait baru yang indah, bukan menggunakan waktunya untuk ngobrol-ngobrol tanpa isi dan pulang ke tempat Pam menjelang dini hari. Berapa banyak ide bagusnya yang terbuang karena ia lebih suka tenggelam dengan kebiasaan minumnya. Berapa banyak puisinya terbuang karena kebiasaan buruknya ini, ditengah orang-orang yang membuai dia yang hanya berpikiran kapan mereka mendapat jatah minum dari Jim.
Mereka adalah hal yang menyakitkan bagi Pam Curson. Kekasih sekaligus belahan hati Jim. Pam selalu marah karena Jim selalu kluyuran dan mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Bersama teman-temannya tersebut Jim sering pergi berhari-hari untuk kemudian balik lagi kepada Pam seolah tak terjadi apa-apa. Menurut pandangan saya hubungan mereka awet tapi didalamnya menyakitkan. However volatile to the point of self immolation would be more to the truth.
….. and our love become funeral pyre
Maka agar semuanya enak bagi Pam, atas saran Pam, Jim akan berlibur di Paris bersama Pam.
Hey, itu nampaknya sebuah ide bagus, paling tidak pada situasi saat itu. Paris adalah kota yang penuh cahaya— and he could certainly use an infusion of luminosity into that shadow world of his—kota bagi para seniman. Ia bisa menjadi seorang bohemian masa depan yang ideal, seorang Amerika di Paris. Banyak seniman-seniman besar yang pernah berada di sana. Mengapa Jim tidak ? Earnest Hemingway, F Scott Fitzgerald, Henry Miller, Jim Morrison. Wow, saya sangat suka rangkaian nama nama itu. Suatu kumpulan nama yang sangat bagus.
Dan inspirasi bisa muncul dari kota seperti Paris. Saya ingin Jim pergi ke Paris dan mulai menulis lagi. Lupakan status dirinya sebagai rock star. Inilah saatnya ia kembali menjadi seniman. Seperti dimasa awal. Saat musim panas 1965. Saat kami masih muda dan dipenuhi rasa idealisme, penuh energi dan siap mengubah dunia. Saya ingin Jim kembali seperti itu. Peka, peduli, jenaka-orang yang sama-sama duduk di pantai Venice bersama saya enam tahun yang lalu. Orang yang mendirikan The Doors bersama saya. Orang yang merupakan penyair terbaik yang saya kenal (penyair legendaris Michael McClure pernah menyebut Jim sebagai penyair terbaik pada jamannya).Jim adalah seorang seniman, dan Jim adalah teman saya
“Oke. Sampai bertemu lagi,” kata Jim, dengan aksen daerah Selatan mewarnai katanya—suatu aksen yang berasal dari masa kanak-kanaknya di Florida. Suatu hal yang bisa muncul saat dia merasa tertekan or silly joy. Atau kadang-kadang, namun belakangan lebih sering, di saat ia kerasukan akibat terlalu banyak minum Wild Turkey, dan ia berubah menjadi seorang manusia yang tidak saya kenal. Dan Ia pergi begitu saja. Meninggalkan sesi rekaman. John, Robby dan saya hanya bisa saling pandang, tertegun. Yang bisa kami lakukan akhirnya hanyalah mengangkat bahu.
“Saya pikir itu ide bagus,” kata Robby.
“Kelihatannya begitu,” kata saya sepakat. “Paris dan seniman kelihatannya cocok.”
“Mungkin di sana ia bisa merenung untuk menghasilkan karya-karya yang bagus,” kata Robby berharap.
“Namun bagaimana kalau ia malah tak bisa berhenti minum-minum? Ia malah tak bisa menghasilkan karya yang bagus lagi.” John nampak khawatir.
“Jangan khawatir John,” kata saya berusaha untuk menghapus kekhawatiran John.” Di Paris Jim akan lebih mudah menemukan syair. Jim akan berkarya di sana.”
“Yeah,” kata John sambil menghela nafas. “Lalu bagaimana dengan Jimbo?’
Kami terdiam sejenak. Hening. Rasa ketakutan tiba-tiba terasa menyergap kami. John memecah keheningan, sekali lagi dengan melepaskan batuk-batuk dari rasa gelisahnya. Kami kemudian berusaha untuk bekerja kembali. Tapi tidak mungkin. Menyelesaikan L.A. Woman tanpa Jim harus dilakukan pada hari lain. Pada saat itu kami sungguh tidak tahu bahwa itu adalah hari terakhir kami bertemu Jim.
Dua bulan telah berlalu, kami tak mendapat kabar apapun dari Jim. Sementara L.A Woman telah dirilis dan orang mengatakan bahwa The Doors telah kembali. Para kritikus menyukai. “The Doors Is Back!” “Gabungan yang unik antara power dan presisi !” “Raw& Real !” “Lirik yang dibuat oleh Jim Morrison sangat menyentuh.” Sementara single pertama dari album ini, sebuah lagu indah yang dibuat untuk mengenang suatu pertengkaran antara Robby Krieger dan kekasihnya “Love Her Madly” menjadi hit. Sering diputar di radio. Sedangkan lagu-lagu intelektual dari kami yang mempunyai durasi panjang ( kami biasa menyebutnya sebagai “epic” )diwakili oleh lagu “Riders On The Storm,” dan “L.A. Woman,” sedangkan “Been Down So Long” dan “Maggie M’ Gill” mewakili karya kami yang berakar blues. Semua terasa memuaskan, kecuali satu hal……tidak hadirnya Jim Morrison.
Kami mulai rindu untuk main musik lagi. Oleh karenanya kami melakukan latihan bersama, mencoba beberapa lagu baru lagi. Membuat musik secara bersama. Robby memiliki beberapa lagu baru. Sedangkan John dan saya mulai mencoba membuat lagu lagi pada saat kami melakukan latihan itu. Latihan berjalan dengan baik, kami banyak dimintai waktu untuk melakukan wawancara mengenai album L.A. Woman. Pemilik perusahaan rekaman Elektra tersenyum lebar atas kesuksesan album ini. Mereka kemudian menawarkan tur pada The Doors, mereka tidak tahu bahwa Jim berada di Paris. Kami sebetulnya tidak merahasiakan kepergian Jim ke Paris, tapi kami juga merasa tidak perlu mengabarkan hal ini pada orang, kecuali orang dekatnya. Hingga semuanya berkembang apa adanya namun terkendali
John akhirnya berkata dengan tidak sabar, “ Saya akan menghubungi dia” “Buat apa?” Timpal saya. “Biar saja dia di sana untuk sementara waktu. Ia tidak mau diganggu siapapun. Ia akan menghubungi kita jika ia sudah merasa perlu.” John mundar-mandir di ruang latihan, tak mampu mengendalikan rasa gelisahnya. “Saya harus pergi sekarang,” katanya. Ajaib,keesokan harinya Jim menelpon John.
Dan sehari setelah itu John memberi tahu saya dan Robby. Semua baik-baik saja. Jim merasa betah di sana. Merasa nyaman. Jim juga telah mencukur jambang dan janggutnya. Ia merasa senang atas tanggapan para kritikus musik tentang album L.A. Woman, dan yang paling melegakan ia juga sudah ingin main musik lagi.
“Begitu saya tiba kembali, kita harus segera naik panggung lagi,” katanya. “Saya ingin memainkan lagu-lagu yang ada pada album baru kita secara live. Kita belum pernah memiliki kesempatan melakukan itu.”
“Persis,” kata John dengan sangat antusias. “Dan kamu tahu tidak Jim, kita bisa membawa pemain bas pada pertunjukan kita. Mungkin juga seorang pemain rhythm guitar seperti di album. Ray, Robby dan Ray sudah membicarakan hal itu.”
“Kita bawa saja pemain bas yang ada pada album itu.” Kata Jim yang rupanya menangkap antusiasme John.”Siapa namanya?”
“Jerry….Jerry Scheff,” kata John lewat sambungan jarak jauh.” Kita juga bisa bawa yang lainnya.”
“Well, asyik John. Kalau begitu kita bikn tur kecil saja. Bagaimana pendapatmu ?”
“Kapan ?”
“Ya jika saya sudah kembali.”
“Kapan itu?”
“Saya belum tahu …saya masih betah di sini.” Jim menjawab, “Saya akan berada di sini sementara waktu.”
“Well, baiklah,” kata John “Saya akan katakan pada teman-teman.”
“Good, sampaikan salam saya pada mereka.” jawab Jim.
KLIK.
Itulah kabar terakhir dari Jim yang kami terima. Pada saat itu adalah awal Juni. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 3 Juli Jim meninggalkan kita semua, oleh sebab yang disebut hal-hal yang misterius.
Saya menerima telepon dari orang yang suka bersikap seolah-olah manajer kami. Sebetulnya ia hanyalah seorangroadie yang kemudian kami promosikan untuk menjadi penjaga telepon, namun hal ini membuatnya besar kepala. Ia menjadi arogan. Ia bersikap ngebos terhadap para promotor pertunjukan ataupun para wartawan yang hendak minta wawancara dengan The Doors. Tapi…ya sudahlah, ia bisa dipercaya. Orang ini bernama Bill “Southbay” Sindon.
“Ray ada kabar buruk, saya baru menerima telepon dari Paris. Jim meninggal” Gila, saya pikir, ya karena di akhir tahun 70 dan awal tahun 1971, perasaan paronia sedang melanda kaum muda Amerika. Kematian dan rumor mengenai kematian melanda kita semua, masuk melalui alam sadar kita dan meresap ke alam bawah sadar, dimana hal tersebut kemudian berkembang seperti kangker.
Ditahun yang penuh kegelapan itu semua orang meninggal….dengan cara yang berbeda-beda. Janis Joplin meninggal. Jimi Hendrix meninggal. Paul Mc Cartney juga meninggal karena berjalan di atas zebra cross Abbey Road ( seperti terlihat dicover album Abbey Road) tanpa sepatu—berjalan tanpa alas kaki, dengan berjas, tidak selaras dengan temannya yang lain. Jadi ia harus mati…..atau paling tidak demikianlah rumor yang berkembang. Keluarga Kennedy pada mati. Martin Luther King juga mati. Inilah pahlawan-pahlawan kita. Dunia kita segera dengan segera dipenuhi oleh arwah-arwah tentara muda—umunya tentara Amerika atau tentara Vietnam, juga para wanita Vietnam dan anak-anak Vietnam. Orang-orang menjadi terobsesi dengan kematian. Semua menjadi terasa aneh untuk bisa dicerna oleh akal sehat, sementara rumor-rumor terus berkeliaran.
Sebagai contoh, saat kami para bintang rock sedang mengadakan pesta disebuah kawasan di Hollywood. Ganja dan Anggur murahan bertebaran. Jim seharusnya sudah berada di tempat ini, tapi seperti biasanya ia terlambat datang, Dengan tiba-tiba seseorang berlari dan berteriak.
“Oh My God ! Oh God ! Jim Morrison kecelakaan, tabrakan ! ia meninggal,”
Well, tentu saja Jim selalu menggunakan mobil “Blue Lady,” Shelbby GT 500nya. Mobil sport yang sangat laju untuk dipakai ngebut. Oleh karenanya apa yang dikatakan orang tadi sangat mungkin terjadi. Tak seorangpun yang tahu apa yang harus diperbuat. Berjalan dan bicara tanpa arah. Panik. “Bagaimana?” “Dimana?” “Apa yang harus kita lakukan?” “Panggil Ambulan.” “Dibawa kemana” “Ambulan itu akan tiba di sini,” “Kita tak butuh ambulan di sini kita butuh ambulan di tempat kejadian.” “Dimana itu? Dimana dia ?” “Siapa dia?” Ternyata tak ada seorangpun yang tahu mengenai orang yang tadi berteriak-teriak. Bahkan apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Tidak ada seorangpun yang yakin tentang siapa orang tersebut. Gelombang perasaan takut dan ketidak berdayaan merasuk melalui tiga cakra paling bawah pada diri kami. Kami memasuki wilayah kegelapan pada diri kami, yang membuat kami dicengkram oleh rasa ketakutan.
Hah, namun apa yang terjadi kemudian ? Lima menit setelah kegaduhan tersebut Jim masuk ke ruang pesta. Segar bugar dan siap berspesta. Kami berteriak, “Jesus, Jim kami mendapat kabar kamu tewas karena mengalami kecelakaan.” Ia memandang kami dengan wajah diliputi keheranan. Kemudian dia berbicara dengan mengutip kata-kata Mark Twain yang terkenal, “No, Man kabar mengenai kematian saya adalah kabar yang terlalu dibesar-besarkan.” Kami menghela nafas panjang, tertawa atas kebodohan kami, pesta dilanjutkan..jauh sampai larut malam.
Oleh karenanya ketika Sidon mengabarkan bahwa Jim meninggal lagi, saya tak mempercayainya. Dan itu bukan karena saya tak mau berpikir bahwa teman baik saya meninggal, tapi yang terbayang adalah saat-saat Jim berada di tengah pesta beberapa waktu yang lalu, Jim berdiri, senyumnya yang khas membayang diwajahnya yang tampan, seolah menikmati absurdnya ketika ia diberitakan meninggal, padahal ia masih segar bugar. Saya berpikir betapa konyolnya jika saya mempercayai kabar ini, oleh karenya saya akan menyikapinya sebagai rumor yang biasa berkeliaran saat itu, tentang banyak tokoh-tokoh ternama. Dan tentu saja saya tak perlu pergi ke Perancis untuk membuktikan kebenaran omongan Sidon.
“Saya tak percaya Bill. Dan tentunya saya tak perlu pergi ke Paris. Ingat kejadian di Pesta beberapa waktu lalu ?”
“Saya kira yang ini serius Ray,” kata Bill.
Saya terdiam sejenak, menangkap rasa panik yang terasa pada suara Sidon.
“Kalau begitu begini saja,” kata saya. “Ada penerbangan siang hari ini ke Paris kan ? Pesan tiket, kelas satu, dan pergilah ke sana.”
“Saya sudah pesan tiket itu Ray, yang saya ingin pastikan adalah kamu baik-baik saja mendengar berita ini.”
“Well, tenang saja, saya baik-baik saja kok. Sekarang berangkatlah.”
“Saya akan menghubungi kamu,” kata Sidon, “dari sana.”
“Oh ya Bill,” saya mengingatkan. “Pastikan ya, kali ini betul-betul pastikan,”dan saya menutup telepon.
***
Tiga hari kemudian, Bill menelpon.
“Kami baru saja memakamkan Jim Morrison,”kata suara dari sebrang sana.
“Siapa ini ?” saya berteriak marah kepada penelpon yang menghubungi
“Ini Bill, Bill Sindon,” “ jawab sang penelpon.
“Bill apa yang kamu maksud memakamkan? Apakah kamu tidak sedang menghayal? Apakah maksud kamu Jim betul-betul meninggal ?
“Kali ini betul Ray.”
“Bagaiman bisa? Apa…apa yang terjadi? Maksud saya apakah ia tertabrak mobil, atau apakah ia mengalami kecelekaan ? atau ia kerobohan tembok ……
“Kami tidak tahu.”
“…..atau dibunuh ? Seseorang menembaknya atau memukuli sampai mati ?”
“Saya tidak tahu Ray. .”
“Bill apa yang kamu maksud dengan tidak tahu ?”
“Ia meninggal bukan karena sebab-sebab yang kau sebut tadi. Ia …meninggal.”
“Jesus Kristus,” saya berusaha untuk paham. Tak masuk akal. “Apa?” “Dimana?”
“Di apartemennya. Di Bathtub.”
“Apakah ada orang yang menganiayanya, atau ada hal lain ?”
“Tidak,” kata Bill,”Dari sertifikat kematian yang diberikan oleh dokter kalau tidak salah bunyinya “jantungnya berhenti berdenyut” ya seperti itulah . Semuanya tertulis dalam bahasa Perancis, jadi saya tidak mengerti.”
“Oh, man. Well, bagaimana muka Jim kelihatannya ?”
“Saya tidak tahu Ray”
“Jika kamu sekali lagi berkata tidak tahu, akan saya cekik kamu. Saya bertanya bagaimana kelihatannya dia. Jangan katakan tidak tahu.” Dan IA KEMBALI MELEDAKAN BOM!
“Saya tidak tahu, SAYA TIDAK PERNAH MELIHAT MAYATNYA.”
“Bagaimana kamu bisa tidak melihat jasadnya ?” Rasanya saya ingin melempar gagang telepon yang saya pegang ini ke pojokan dapur, dimana saya dan Dorothy biasa makan pagi. Atau memukulkannya ke kepala Sidon. Begitulah kalau mengutus anak-anak untuk tugas orang dewasa.
“Ia sudah ada dalam peti mati yang tertutup.”
“Kamu katakan kamu tidak pernah melihat jasad Jim ?! Mengapa tidak kamu buka peti mati tersebut ?” Saya menjadi sangat marah.
Suara Bill terdengar menggiggil. “Saya tidak bisa.”
“Mengapa kamu tidak meminta untuk membukanya? Mengapa kamu tidak berkata, Saya ingin melihat Jim Morrison, saya manajer The Doors dan saya ingin melihat jasadnya !Mengapa kamu tidak melakukan itu ? ” Dan kemudian, hal yang tak masuk akal……..
“Saya takut” kata Bill.
“Jadi kamu mengubur peti mati?”
“Betul Ray. Kami menguburnya tadi pagi.”
“Lalu bagaimana kamu bisa yakin bahwa yang ada dalam peti tersebut adalah jasad Jim Morrison, bukan sekarung pasir ?”
“Well, uhh Pam menangis tak henti-hentinya. Dan ..uh maksud saya…Jasad Jim memang berada dalam peti mati tersebut. Saya yakin itu.”
“Oh Jesus,” tiba –tiba saya merasa sesak. Cerita yang membingungkan ini mulai menjadi jelas.
“Bill, kan saya sudah berkata kamu harus memastikan bahwaini bukan sekedar rumor. Tapi hasilnya kok begini.” Saya berhenti sejenak, mencoba menghirup nafas, menguatkan diri menghadapi kenyataan. “Dimana…dimana ia dikuburkan ?”
“Di Paris. Kalau nggak salah di suatu tempat yang bernamaPere Lachaise cemetery. Saya tidak tahu cara pengucapannya yang benar, Ray.”
“Ah tak perlu Bill.”
“Tempatnya sangat bagus.” Kata Bill berusaha mengubah suasana. “Banyak seniman-seniman ternama dikubur di sana. Chopin dan uh.. Sarah Bendhardt dan Oscar Wilde, dan uh …. “kata Bill lagi. “Saya tidak tahu siapa lagi, namun pokoknya banyak sekali.”
“Oh bagus itu, Bill. Tapi benarkah jasad Bill yang dikubur itu ?”
“Saya kan sudah mengatakan padamu Ray , kami baru menguburnya tadi pagi.”
“Kamu mengubur peti mati yang tertutup. Kita tidak tahu siapa ini sebenarnya. Ini akan menjadi rumor dan akan banyak cerita berkembang dari sini.”
“Apa maksudmu Ray ?”
“Tak apa-apa. Suatu hari nanti kamu akan paham. Sekarang pulanglah.”
Saya kemudian meletakan gagang telepon ditempatnya. Belakangan saya tahu bahwa hanya Agnes Verda, Alain Ronay, Pam dan Sidonlah yang ada di pemakaman. Hanya empat orang dipagi yang indah di Paris. Dan ia telah tiada. Ia pergi ke Paris untuk berlibur. Dan ia mati. Sesederhana itu. Dan semembingungkan itu.
***
Kematian Jim Morrison segera kami umumkan. Media kami beri tahu. Perusahaan rekaman Elektra kami beri tahu. Pengacara kami, kami beritahu. Dan dari situlah rumor mulai bermunculan. Saya tidak ingin membuat bantahan-bantahan yang malah akan menambah ramai rumor yang berkembang. Namun jika anda membaca buku ini……mungkin anda bisa tahu beberapa rumor berkaitan dengan kematian Jim Morrison. Ia mati bunuh diri. Ia mati dibunuh orang. Dibunuh oleh CIA. Ia masih hidup dan tinggal di Afrika. Ia masih hidup dan tinggal di pedalaman Australia. Ia menjadi pendeta di Tibet. Hal-hal semacam itu. The pathetics need for the secret plots. Konspirasi dimana-mana. Kita terperangkap dalam rasa ketakutan yang berlebihan. Kita tidak memiliki keyakinan pada energi. Bahwa energi adalah kita dan menopang semua kehidupan. Kita kehilangan pemahaman mengenai perputaran hidup. Kita bahkan tidak mempercayai perputaran. Semuanya adalah satu garis lurus yang menuju kita. Kita semua harus berkembang. Kita semua harus punya tujuan. Jika orang yang mengaku beragama tidak berkembang, ia akan menjadi gila. Jika kehidupan adalah perputaran orang akan menjadi gila. Jika dia tidak naik tingkat maka ia akan jadi gila.
Dan kita memang akan menjadi gila.
Sore harinya kami berkumpul di kantor The Doors. Kami betul-betul terpukul. Semua. John, Robby dan saya. Kathy Lisciandro (sekretaris kami), Leon Barnard (publisher kami), Vince Treanor (road manajer kami) dan Danny Suggerman ( Office Boy, dan belakangan akan menjadi manajer the Doors). Kami merasa hancur, remuk. Kami menunggu Jim Morrison kembali, menggarap lagu-lagu baru, berlatih bersama kami. Kami menunggu untuk bisa bermain musik lagi, album baru ( lagu-lagu baru yang kami buat sangat menjanjikan), naik panggung, bergembira bersama, mendapat pengalaman baru yang luar biasa. Tiba-tiba Jim tidak hanya tidak kembali . Tapi ia juga meninggal.
Kami tidak bisa membuat karya seni bersama lagi. Kami tidak mungkin “bercinta” di atas panggung lagi. Jim dan saya tak akan pernah menggarap Dyonnasus dan Apollo dichotomy lagi. Kami berempat tak akan masuk ke wilayah itu lagi, wilayah yang suci, transedental….membuat musik the doors lagi. Semua sudah berlalu. Kami akan selalu merasa ada bagian dari diri kami yang hilang. Di sisa-sisa hidup kami.